Publisher ID: pub-5956747228423723 Publisher ID: pub-5956747228423723

Sunday, 17 November 2013

Analisis saham dcf


‹ › Home
View web version
Tanggal: Saturday, January 28, 2012
Discounted Cash Flow
Discounted Cash Flow atau biasa disingkat DCF adalah
salah satu metode untuk menghitung prospek
pertumbuhan suatu instrumen investasi dalam beberapa
waktu ke depan. Konsep DCF ini didasarkan pada
pemikiran bahwa jika anda menginvestasikan sejumlah
dana, maka dana tersebut akan tumbuh sebesar sekian
persen atau mungkin sekian kali lipat setelah beberapa
waktu tertentu. Disebut ‘discounted cash flow’ atau
‘arus kas yang terdiskon’, karena cara menghitungnya
adalah dengan meng-estimasi arus dana dimasa
mendatang untuk kemudian di- cut dan menghasilkan
nilai dana tersebut pada masa kini.
Biasanya, seorang investor ingin mengetahui bahwa
jika dia menginvestasikan sejumlah dana pada satu
instrumen investasi tertentu, maka setelah kurun
waktu tertentu (misalnya setahun), dana tersebut
akan tumbuh menjadi berapa. Untuk menghitungnya,
maka digunakanlah DCF. Okay, kita langsung aja ke
contohnya.
Misalnya anda punya duit sebesar Rp100 juta yang
akan anda investasikan pada suatu usaha, katakanlah
toko baju, dimana toko tersebut berdasarkan
historisnya mampu mencetak pertumbuhan modal (yang
dihasilkan dari peningkatan saldo laba) sebesar 50%
per tahun. Dengan asumsi di tahun berikutnya toko
baju tersebut akan kembali mencetak pertumbuhan
50%, maka dana anda akan tumbuh 50% menjadi 1.5
kali lipat dalam setahun, alias Rp150 juta. Bagaimana
kalau setelah tiga tahun? Maka kenaikan sebesar 1.5
kali lipat per tahun tadi dipangkatkan tiga (1.5 x 1.5 x
1.5 = 3.37 ), kemudian dikali dana awal yaitu Rp100
juta, sehingga hasilnya adalah Rp337 juta.
Dengan demikian, jika anda menempatkan modal
sebesar Rp100 juta pada sebuah toko baju yang
menawarkan prospek pertumbuhan sebesar 50% per
tahun, maka setelah tiga tahun, modal anda akan
tumbuh menjadi Rp337 juta, atau 3.37 kali lipat.
Pada perkembangannya, ada juga investor yang ingin
mengetahui bahwa jika dia mengharapkan dana sebesar
Rp500 juta dalam tiga tahun, maka dia harus setor
modal berapa ke toko baju tadi. Kalau gitu maka
perhitungannya tinggal dibalik aja, yaitu: Rp500 juta
dibagi 3.37, dan hasilnya adalah Rp148 juta. Maka si
investor tersebut harus menyetor modal Rp148 juta,
agar dananya tumbuh menjadi Rp500 juta dalam tiga
tahun.
Konsep DCF inilah yang menyebabkan valuasi saham-
saham di seluruh bursa saham di dunia, termasuk BEI,
menjadi mahal, dimana PBV 2 kali untuk sebuah
perusahaan yang kinerjanya bagus dan prospeknya
cerah, sudah dianggap cukup murah. Padahal kalau
pakai perhitungan kasar, PBV 2 kali itu kan artinya
anda harus membeli saham pada harga senilai dua kali
lipat dari nilai riil perusahaannya. Simpelnya, anda
harus membayar Rp200 juta untuk memperoleh
‘barang’ senilai tak lebih dari Rp100 juta. Lho?
Untungnya, ‘barang’ yang dimaksud disini yaitu modal
bersih (equity) perusahaan, nilainya akan terus
meningkat di masa mendatang, sesuai dengan
pertumbuhan saldo labanya. Dan mengingat
pertumbuhan perusahaan bersifat eksponensial (2 x 2 x
2 dan seterusnya) dan bukannya kumulatif (2 + 2 + 2
dan seterusnya), maka meskipun anda membelinya
pada harga dua kali lipat, tapi dalam beberapa tahun
berikutnya nilai barang tersebut mungkin akan sudah
lebih besar dari modal yang anda keluarkan.
Misalnya, PT Antah Berantah mencatat modal bersih
100 milyar. Anda lalu membeli 0.1% sahamnya senilai
Rp200 juta (PBV-nya dua kali). Mengingat perusahaan
mencatat pertumbuhan modal rata-rata 30% per
tahun, maka terdapat peluang bahwa perusahaan akan
mencatat modal Rp100 milyar + 30% = Rp130 milyar di
tahun depan. Dan di tahun berikutnya lagi, laba bersih
tersebut akan naik lagi menjadi Rp130 milyar + 30% =
Rp169 milyar, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa
pertumbuhan laba bersih sebesar 30% per tahun
tersebut dicapai secara konsisten, maka dalam lima
tahun, PT Antah Berantah akan memiliki modal sebesar
Rp371 milyar. Alhasil dengan modal Rp200 juta, anda
akan memperoleh barang senilai Rp370 milyar (Rp371
milyar dikali 0.1%) dalam lima tahun, alias
kenaikannya mencapai hampir dua kali lipat. Dan
kenaikan tersebut akan tercermin pada kenaikan harga
saham yang anda pegang. Selain itu, ingat bahwa PBV
saham yang anda pegang akan tetap berada di level 2
kali, sehingga kalau ada orang yang mau membeli
saham yang anda pegang, maka dia harus membayar
Rp740 juta, bukan lagi Rp200 juta seperti ketika anda
membelinya lima tahun sebelumnya.
Jadi disini, kita bisa katakan bahwa saham PT Antah
Berantah memang layak dihargai pada harga dua kali
lipat (PBV-nya dua kali) dari nilainya saat ini, karena
ternyata dalam lima tahun berikutnya, modal
perusahaan mampu berkembang dari Rp100 milyar
menjadi Rp371 milyar, atau sudah lebih besar dari
modal yang dikeluarkan si investor ketika membeli
sahamnya (Rp370 juta berbanding Rp200 juta).
Pada prakteknya, di BEI terdapat cukup banyak
perusahaan yang mampu mencatat pertumbuhan modal
dengan lebih cepat, bisa mencapai 50% atau bahkan
100% per tahun. Belum lagi jika perusahaan tersebut
meng-akselerasi pertumbuhannya dengan aksi korporasi
tertentu, misalnya akuisisi. Alhasil, dana anda bisa
berkembang lebih cepat, dan anda mungkin tidak perlu
menunggu sampai lima tahun untuk melihat harga
saham anda naik dua kali lipat. Faktanya, di BEI
sendiri terdapat cukup banyak saham yang harganya
naik dua hingga tiga kali lipat hanya dalam setahun,
dimana kenaikan tersebut memang selaras dengan
kenaikan modalnya, sehingga PBV-nya pun tidak ikut
naik melainkan tetap. Inilah saham-saham yang secara
fundamental sangat layak untuk dikoleksi, apalagi jika
PBV-nya wajar (dikisaran 2 atau maksimal 3 kali).
Dari uraian diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa
DCF akan dapat dihitung jika kita bisa memperkirakan
berapa persen kira-kira pertumbuhan modal
perusahaan dimasa yang akan datang. Mengingat
pertumbuhan modal (yang wajar) sepenuhnya ditopang
oleh penambahan saldo laba, maka anda harus
menghitung jumlah saldo laba yang ditambahkan
tersebut. Dan karena saldo laba itu sendiri berasal
dari perolehan laba bersih dikurangi dividen yang
dibagikan kepada investor, maka anda harus
mengetahui berapa laba bersih dan pertumbuhannya,
dan berapa dividen yang dibayarkan setiap tahunnya.
Karena pertumbuhan laba bersih juga dipengaruhi oleh
pertumbuhan modal, maka anda harus mengetahui
pertumbuhan modal (Lho kok?). Jadi ngitungnya
muter-muter aja terus dan alhasil, perhitungan DCF
ini menjadi rumit dan memerlukan banyak asumsi yang
harus dipenuhi terkait saldo laba, laba bersih, dividen,
dan seterusnya, agar hasilnya akurat.
Dalam aplikasinya, DCF jauh lebih rumit lagi ketimbang
contoh diatas. Selain DCF diskrit seperti yang
dicontohkan diatas, ada juga DCF berkelanjutan, DCF
yang menggunakan pendekatan FTE, APV, hingga
WACC. Pusing? Sama penulis juga.. Sekali lagi
mengingat bahwa perhitungan DCF ini memerlukan
banyak asumsi yang harus dipenuhi agar hasilnya
akurat, maka secanggih apapun rumus DCF yang
dipakai, hasilnya tetap akan menjadi percuma kalau
asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi. Makanya
penulis jarang menggunakannya.
Sebenarnya, anda bisa menyederhanakan DCF ini
dengan menggunakan dua ukuran utama dalam analisis
fundamental, yaitu Return on Equity (ROE), dan
pertumbuhan laba bersih, selain tentunya PBV tadi.
Jadi pertama-tama, lihat ROE-nya. Perusahaan yang
bagus adalah yang ROE-nya diatas 20%, syukur-
syukur 30%. ROE ini penting, sebab menunjukkan
seberapa besar laba bersih dapat meningkatkan modal
(dengan catatan laba bersih ini tidak digunakan
seluruhnya untuk dividen). Setelah itu, lihat net profit
growth-nya. Minimalnya 20%, idealnya 50%. Kalau
anda berorientasi pada investasi jangka panjang, maka
lihat juga rata-rata pertumbuhan laba bersih dalam
jangka panjang, katakanlah 5 tahun (dikenal sebagai
CAGR, singkatan dari compound annual growth rate).
Mengingat modal akan tumbuh jika saldo labanya
tumbuh, maka pertumbuhan laba bersih ini akan
mewakili pertumbuhan modal bersih tersebut.
Kesimpulannya jika sebuah saham mencatat ROE 30%,
dan CAGR 50%, maka prospek pertumbuhannya tentu
lebih baik ketimbang saham yang ROE sama-sama
30%, tapi CAGR-nya cuma 20%, atau saham yang
CAGR-nya 50%, tapi ROE-nya cuma 10%. ‘Prospek’
yang dimaksud disini memang hanya dihasilkan dari
number crunching dari data-data historis, dalam artian
tetap akan terdapat beberapa asumsi yang harus
dipenuhi. Paling tidak terdapat asumsi bahwa ROE dan
CAGR yang bagus tersebut akan terus berlanjut
dimasa mendatang. Makanya, PBV tadi tetap penting
untuk diperhatikan. Sebagus apapun rasio-rasio
fundamental sebuah saham, sebaiknya tetap usahakan
untuk membelinya pada harga riil (harga berdasarkan
kondisi barangnya saat ini, bukan saat yang akan
datang) yang murah, misalnya kalau bisa pada PBV 1
kali saja (setiap beberapa waktu tertentu, ada saja
saham-saham murah seperti ini). Kalau memang saham
yang anda beli pada harga murah tersebut laba riil-
nya memang tumbuh dan ROE-nya juga nggak jelek-
jelek amat (dan tentu saja, sahamnya likuid), maka
cepat ata

No comments:

Post a Comment