Publisher ID: pub-5956747228423723 Publisher ID: pub-5956747228423723

Tuesday 26 November 2013

bagian 3 saham

5. Ambil nilai intrinsik yang terendah, dan belilah
saham pada harga maksimal 25% dibawahnya. Lebih
dari itu, berarti sahamnya mahal.
Seperti sudah disebut diatas, Buffett hanya memilih
saham yang punya track record kinerja puluhan, bahkan
ratusan tahun (salah satu saham Buffett, yaitu Coca
Cola tadi, pertama kali beroperasi pada tahun 1888,
persis 100 tahun ketika Buffett mulai mengkoleksinya
tahun 1988). Meski demikian, dalam menghitung nilai
intrinsik, Buffett hanya melihat akumulasi laba
perusahaan dalam 10 tahun kedepan saja, tidak lebih.
Dan entah ada hubungannya atau tidak, namun dalam
kaitannya menghitung harga wajar saham menggunakan
PER, maka sebuah saham bagus bisa disebut murah
kalau PER-nya 10 kali (yang itu berarti, harga
sahamnya sama dengan jumlah laba dikali sepuluh
tahun), atau kurang dari itu. However, ketika Buffett
pertama kali melirik Coca Cola, PER-nya ketika itu
mencapai lebih dari 20 kali, yang itu berarti
kemungkinan Buffett menyadari bahwa perusahaan ini
punya potensi untuk bertahan jauh lebih lama dari
sekedar 10 tahun. Dan faktanya hingga hari ini, atau
25 tahun sejak Buffett pertama kali membelinya, Coca
Cola masih nongkrong di portofolio Berkshire
Hathaway.
Nah, sekarang bagaimana jika saya menemukan saham
bagus dengan nilai intrinsik (setelah saya hitung)
1,000, tapi harganya di market 1,500. Apa yang harus
saya lakukan? Menurut Buffett, ‘harga saham di
pasar seringkali berbeda dengan harga/nilai
intrinsiknya, dan seringkali pula hal itu terjadi dalam
waktu yang cukup lama. Namun pada akhirnya, harga
suatu saham akan bertemu (menjadi sama) dengan nilai
intrinsiknya tersebut.’ Artinya, jika anda menemukan
bahwa nilai intrinsik saham A adalah 1,000, sementara
harganya di market 1,250, maka dengan catatan anda
telah menghitung nilai intrinsik tersebut dengan baik,
itu berarti hanya ada satu kemungkinan: Market, atau
saham itu sendiri, sedang bubble . Dan jika itu terjadi,
maka opsi yang terbaik adalah menunggu terjadinya
‘mekanisme alam’, dimana cepat atau lambat bursa
saham (IHSG) akan terkoreksi, dan harga-harga saham
akan turun hingga mencapai harga wajar/nilai
intrinsiknya masing-masing. Dan ketika koreksi
tersebut sudah cukup dalam, dimana saham A tadi
sudah turun ke katakanlah 750, maka itulah saatnya
untuk belanja.
Disisi lain, jika anda menemukan saham B dengan nilai
intrinsik 2,000, sementara harganya di market cuma
1,000, maka meski IHSG sedang tinggi-tingginya
sekalipun, langsung saja beli saham B tersebut.
Buffett, seperti juga value investor lainnya (kalau di
Indonesia, Lo Kheng Hong), tidak begitu
memperhatikan posisi indeks ketika mengincar suatu
saham. Yang mereka perhatikan hanyalah nilai intrinsik
dari saham yang mereka incar saja, apakah masih
mahal atau sudah cukup murah.
Satu hal lagi, seiring dengan pertumbuhan perusahaan,
maka nilai intrinsiknya juga akan terus naik, dan
demikian pula halnya dengan harga sahamnya. So, jika
anda sewaktu-waktu sudah membeli saham pada harga
yang lebih rendah dari nilai intrinsiknya, yaitu ketika
terjadi momentum koreksi pasar, maka selanjutnya
tinggal duduk saja untuk menonton perusahaan anda
bertumbuh, dan juga harga sahamnya.
6. Perhatikan ekonomi makro
Dari contoh perhitungan nilai intrinsik diatas,
disebutkan bahwa ketika kita hendak mendiskon nilai
saham di masa yang akan datang agar diperoleh
nilainya pada saat ini, maka kita bisa menggunakan
tingkat suku bunga sukuk sebagai patokan, yang
sebesar 6.25% tadi. However, bunga sukuk tidak selalu
6.25% per tahun, melainkan berubah-ubah setiap saat
tergantung inflasi, dimana jika inflasi meningkat, maka
bunga sukuk juga akan meningkat. Dan jika bunga
sukuk meningkat, maka harga saham akan semakin
terdiskon, alias semakin rendah, atau dengan kata lain:
Nilai intrinsik suatu saham akan semakin rendah ketika
inflasi meninggi .
Dalam kondisi perekonomian negara yang normal,
tingkat inflasi memang berubah setiap saat, namun
pada akhirnya akan menemui titik keseimbangan di
level tertentu. Contohnya untuk Indonesia, rata-rata
inflasinya sejak selesainya krismon 1998 adalah 7%
per tahun (atau tepatnya 6%, jika mengabaikan
perubahan kenaikan inflasi yang signifikan di tahun
2008), dengan inflasi pada saat ini 5.5% (atau 5.9%,
barusan udah berubah lagi). Tapi tahukah anda, berapa
tingkat inflasi kita di tahun 1998 dan 2008? Percaya
atau tidak, inflasi kita di tahun 1998 pernah mencapai
82.4% , dan 12.1% di tahun 2008. Dan menurut anda,
bagaimana nasib saham-saham di BEI ketika itu?
However, bagi investor jangka panjang, yang patut
diwaspadai disini adalah jika terjadi perubahan
signifikan dalam perekonomian makro, dimana inflasi,
dan juga indikator perekonomian lainnya, berubah jauh
lebih besar dari biasanya, seperti yang terjadi pada
1998 dan 2008 lalu. Sementara perubahan kecil-kecil
yang terjadi hampir setiap saat, misalnya seperti
inflasi yang bisa dipastikan akan naik karena kenaikan
harga BBM, itu tidak begitu penting. Sama halnya
seperti harga saham yang naik turun setiap saat, itu
juga tidak penting selama laba perusahaan serta nilai
intrinsik sahamnya terus bertumbuh. Tapi jika anda
lebih condong sebagai trader, maka hal ini jelas
penting.
Kesimpulan
Okay, sebenarnya selain 6 poin diatas, di kepala
penulis masih ada banyak lagi pembahasan soal
‘menghitung nilai intrinsik’ ini, sehingga artikel ini
sejatinya belum selesai, karena ternyata hal ini
memang merupakan inti utama dari berinvestasi di
saham secara keseluruhan. Namun berhubung
artikelnya sudah cukup panjang, maka untuk sekarang
ini kita simpulkan saja dulu artikel diatas.
Kesimpulannya, jika kita berniat untuk berinvestasi
jangka panjang, maka jangan kompromi dengan saham
‘abal-abal’, melainkan pastikan bahwa saham yang
anda pilih benar-benar bagus. Dan kriteria dari saham
bagus tersebut minimal ada tiga:
1. Punya track record kinerja yang bagus, dan
senantiasa bertumbuh secara stabil dalam jangka
panjang, minimal 5 tahun ke belakang, namun lebih
lama lebih baik.
2. Perusahaan memiliki utang dalam jumlah yang
wajar, atau sebaiknya tidak punya utang sama
sekali.
3. Sebaiknya pilih saham yang kinerja perusahaannya
tidak tergantung pada fluktuasi harga komoditas,
tapi juga jangan menutup diri jika ada saham
komoditas yang memang menarik.
Selanjutnya terkait timing untuk masuk/membeli
sahamnya, adalah ketika harga suatu saham turun
hingga lebih rendah minimal 25% dibanding nilai
intrinsiknya (selisih 25% ini kemudian disebut margin
of safety), dan itu biasanya baru terjadi ketika
market atau IHSG dilanda koreksi, entah besar atau
kecil. Karena dalam kondisi normal, harga saham
biasanya mengikuti/sama dengan nilai intrinsiknya
masing-masing, atau bahkan lebih tinggi jika market
sedang bullish.
Disisi lain, jangan lupa untuk memperhatikan perubahan
signifikan dalam perekonomian makro, seperti inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Karena jika kejadiannya
seperti tahun 1998, atau 2008, maka tak peduli
sebagus apapun fundamental sebuah saham, semurah
apapun harganya, maka tetap saja dia akan turun,
hingga ke posisi yang tidak pernah anda bayangkan
sebelumnya.

No comments:

Post a Comment